Di Antara Ombak yang Datang dan Tanah yang Hilang, Bau Ikan Asin tak Lagi Sampai ke Seberang

Warga Mundam gotong royong menyusun ban bekas sebagai pelindung pantai dari abrasi, simbol kepedulian dan kekuatan kebersamaan. (f:kambali)

Di tepi Selat Rupat, laut perlahan menelan daratan. Namun dari tumpukan ban bekas yang disulap menjadi benteng ombak, lahir harapan baru. Inovasi sederhana yang dibawa PT. Kilang Pertamina Internasional (KPI) Refinery Unit (RU) II Dumai itu menjadi tameng bagi warga Mundam dalam melawan gelombang yang tak pernah lelah menggerus tanah mereka.

 

Oleh: KAMBALI – Dumai

Menjelang petang, Rabu, 22 Oktober 2025, Kampung Mundam terlihat redup. Awan hitam menggantung di langit. Meski hujan baru saja reda, hawa tetap terasa gerah akibat masa peralihan musim antara kemarau dan hujan.

Sore itu saya sengaja menemui Ismail (75). Ia termasuk salah satu yang pertama menetap di Kampung Mundam. Ia yang kini tersisa dan memilih masih bertahan.

Saat ditemui, Ismail tengah berdiri di belakang rumah panggungnya, menatap lekat hamparan Selat Rupat — perairan yang memisahkan dirinya dengan kampung halaman di seberang sana, Batu Panjang, Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis.

Belakangan, kebiasaan itu menjadi rutinitasnya. Setiap selesai salat Subuh atau menjelang Magrib, terutama saat pasang besar, ia berdiri di tempat yang sama — menatap laut yang makin mendekat.

Dari September hingga November, pasang besar datang bersamaan dengan angin kencang dan hujan deras. Ketinggian air terus meningkat dari tahun ke tahun. Gelombang yang dulu hanya membasahi tepi pantai, kini melimpas ke daratan, menenggelamkan lahan warga.

Selama empat bulan musim pasang itu, kecemasan selalu menggelayuti hati warga Mundam. Mereka takut tanah, tanaman, bahkan rumah yang diwariskan orang tua mereka, lenyap diterjang ombak Selat Melaka yang bertaut dengan perairan Tanjung Jati, antara Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat.

Secara umum, Dumai sebenarnya cukup terlindungi dari gempuran ombak laut lepas karena posisi Pulau Rupat yang menjadi benteng alami.

Namun di sisi barat laut, di kawasan Tanjung Jati, ombak bisa mencapai tujuh meter tingginya. Getarannya menjalar hingga ke pesisir Mundam, Teluk Makmur, Guntung, Pelintung, bahkan sampai wilayah Kecamatan Bandar Laksmana, Bengkalis.

Sore itu, ombak bergemuruh di kejauhan. Suaranya bersaing dengan desau angin. Bertopang tongkat, Ismail memandangi lalu-lalang kapal tanker di Selat Rupat — kapal pengangkut minyak dari dan ke Kilang Pertamina Dumai, juga kapal yang membawa produk kelapa sawit dari dan ke Pelabuhan Pelindo.

Kenangan yang Tertelan Ombak

Suara ombak itu, katanya, seperti membawa kembali kenangan yang tenggelam bersama daratan. Di bawah pohon manggis di samping rumahnya, Ismail mulai bercerita di bale-bale kayu. Deburan ombak menjadi irama percakapan saya dan Ismail.

“Sekitar tahun 1957, daerah ini masih hutan dan kebun karet. Yang baru berkembang waktu itu Buluh Kasap, Jaya Mukti, dan Tanjung Palas. Mundam dan Teluk Makmur masih kampung nelayan kecil, penduduknya cuma puluhan keluarga,” katanya.

Saat itu, wilayah yang kini dikenal sebagai Kota Dumai masih menjadi bagian dari Kecamatan Batu Panjang, Kabupaten Bengkalis. Ibu kotanya berada di seberang, di Pulau Rupat.

“Dulu Mundam dan Batu Panjang cuma sepelemparan batu. Ibarat kata, kalau kami menggoreng ikan asin di sini, baunya sampai ke seberang,” ujarnya sambil tersenyum mengenang”

“Setiap hari bolak-balik naik sampan sudah biasa. Banyak warga Batu Panjang yang berkebun di Mundam dan sekitarnya.” imbuh Ismail.

Ismail masih berusia tujuh tahun ketika kedua orang tuanya memutuskan pindah ke Dumai. Saat itu, kabar penemuan ladang minyak di Minas dan Duri membuat Dumai mulai ramai dibicarakan — kota kecil yang bakal jadi pelabuhan pengapalan minyak mentah. Yang di sana kini berdiri Kilang Minyak Pertamina.

Seiring waktu, kampung nelayan yang sederhana itu berubah cepat. Tanki-tanki raksasa penampung minyak dibangun, pelabuhan samudera dibuka. Gedung perkantoran, sekolah, balai buruh, hingga lapangan olahraga bermunculan. Ribuan tenaga kerja datang.

Di tengah geliat itu, orang tua Ismail memperoleh lahan yang luas — sekitar dua hektare. Lebar sekira 33 depa dan panjangnya mencapai 172 depa. Mulai dari rumah yang dihuninya saat ini sampai bibir Selat Rupat yang berhadapan dengan Batu Panjang, Pulau Rupat. Sebagian membeli, sebagian lagi hasil tebang tebas.

Menjelang Magrib, azan berkumandang. Kami menghentikan percakapan sejenak untuk salat di rumah panggungnya. Gerimis turun, menambah syahdu sore itu.

. Deretan ban bekas dan tiang kayu menjadi pelindung Pantai Mundam hasil kolaborasi kilang Pertamina Dumai dan Kelompok Nelayan Mundam Jaya. (F;kambali)

Usai salat, Ismail kembali melanjutkan kisahnya. “Depa itu satuan panjang tradisional yang umum digunakan kami orang Melayu, terutama dalam konteks pengukuran tanah atau bangunan. Satu depa itu sekira 1,8 meter. Jadi, 172 depa sekira dengan 314 meter,” terang Ismail kembali membuka percakapan.

Di atas tanah itu, selain rumah untuk tempat tinggal, juga ditanami berbagai macam pohon. Kelapa, manggis, durian dan mangga. Di sisi yang menjorok ke pantai, ditanami padi

“Dulu kami tak pernah beli beras. Semua dari ladang sendiri. Lauk tinggal pancing di laut. Hasil kebun dan ternak cukup untuk kebutuhan sekolah dan pakaian,” kenangnya.

Namun kini, dari tanah dua hektare itu, yang tersisa hanya sebidang kecil untuk tapak rumah.“Dari belakang rumah ke pantai cuma tujuh meter. Sisanya sudah jadi laut,” katanya lirih. Laut perlahan menelan sejarah hidupnya — juga jejak Mundam yang kian menyusut di peta.

Selat Rupat berada di antara pesisir Kota Dumai dan Pulau Rupat. Dulu jaraknya hanya sekitar 1,2 sampai 6 km. Akibat abrasi di Kota Dumai dan Pulau Rupat, kini jaraknya makin jauh. Antara 3,5 sampai 8 km. Dan jarak antara Mundam dengan Pulau Rupat salah satu yang terdekat.

Surat Tanpa Tanah

Pantai Mundam di Kota Dumai, Provinsi Riau, menjadi salah satu wilayah paling rentan terhadap abrasi. Garis pantainya yang berhadapan langsung dengan Selat Melaka terus tergerus gelombang, mengancam permukiman warga dan ekosistem pesisir yang rapuh.

Ahmad (66) adalah satu dari banyak warga yang telah kehilangan tanah dan rumah. Ia dulu tinggal di tepi pantai, sekitar 500 meter dari rumah Ismail, namun kini menetap di Jalan Arifin Achmad, Simpang Tugu.

“Rumah dan tanah warisan orang tua saya habis ditelan laut. Sebelum tahun 70-an, abrasi belum separah ini. Tapi sejak hutan mangrove ditebang sembarangan, pantai tak lagi punya penahan ombak,” kisahnya.

Abrasi semakin parah seiring naiknya permukaan air laut. Sejak tahun 2000, garis pantai Mundam mundur rata-rata lima meter setiap tahun, bahkan di beberapa titik bisa mencapai tujuh meter.“Jalan Muslim yang dulu berjarak seratus meter dari pantai, sekarang nyaris ambruk dan terputus,” kata Ahmad.

Kini, banyak warga seperti Ahmad yang memiliki “surat tanpa tanah” — nama masih tercatat di sertifikat, tapi lahannya telah berubah jadi lautan.

Pemerintah Provinsi Riau sebenarnya telah melakukan upaya penanggulangan abrasi sejak awal tahun 2000-an. Program pembangunan tanggul pantai dilakukan di Kecamatan Medang Kampai, mencakup Kelurahan Pelintung, Guntung, Teluk Makmur, dan Mundam.

Namun dalam dua dekade, baru sebagian kawasan Guntung dan seluruh pantai Teluk Makmur yang selesai dibangun. Sementara di Mundam, proyek tanggul baru sebatas rencana.

“Kalau di Pelintung sudah aman. Di sana ada kawasan industri, perusahaan bangun sendiri tanggul dan pemecah ombak,” ujar Ahmad. Sejak 2020, proyek tanggul yang sempat menjangkau Sungai Puak — batas Kelurahan Teluk Makmur dan Mundam — terhenti.

“Sudah lima tahun tak ada perkembangan. Padahal, hanya tanggullah harapan kami menyelamatkan rumah dan tanah dari laut,” katanya, menatap jauh ke arah pantai yang kini makin hilang.

Ketika Laut Semakin Dekat

Camat Medang Kampai, Indra Syafawi, mengakui abrasi di Mundam menjadi yang terparah di pesisir Dumai. Garis pantai mundur lebih dari lima meter tiap tahun.

“Dari empat kelurahan, Mundam paling kritis. Banyak rumah hampir roboh. Kalau dibiarkan, beberapa tahun lagi pantai ini bisa hilang,” katanya.

Bagi warga, abrasi bukan hanya kehilangan tanah, tapi juga kehilangan masa depan. Mereka kini hidup di tepi laut yang semakin dekat, sementara sisa kebun mereka perlahan lenyap ditelan gelombang.

Nelayan yang Kehilangan Laut

Bagi nelayan Mundam, laut yang dulu menjadi sumber kehidupan kini menjadi tantangan baru. Air yang terus naik menyebabkan pantai makin dangkal. Untuk memasang jaring atau belat, nelayan harus pergi lebih jauh ke tengah—dekat dengan jalur kapal besar.

“Akibat pendangkalan, kami tak bisa melaut setiap hari. Sekarang rata-rata cuma tujuh sampai sepuluh hari sebulan,” ujar Sulaiman, Ketua Kelompok Nelayan Mundam Jaya. “Dulu bisa 20 hari. Lautnya dulu dalam, hasil tangkapan juga lebih banyak.” imbuh Sulaiman.

Pendapatan nelayan pun turun drastis. Selain harus menunggu pasang tinggi untuk berangkat, mereka juga lebih sering pulang dengan perahu kosong.

Harapan dari Ban Bekas

Tahun 2023, Kilang Pertamina Dumai membawa kabar baik bagi warga Mundam. Dari bahan sederhana—ban bekas kendaraan—lahirlah inovasi yang tak disangka: alat pemecah ombak (APO).

Ban-ban yang dulunya menjadi limbah tak terpakai kini disusun dan ditanam di sepanjang garis pantai. Ketika ombak datang, APO menahan dan memecahnya, memperlambat laju abrasi.

Hasilnya mengejutkan. Lumpur mulai menumpuk di sekitar ban, membentuk lapisan baru tanah di bibir pantai.

“Inovasi ini murah, mudah, dan efektif. Kami lihat sendiri tanah mulai terbentuk, sekitar 50 sentimeter sedimentasi baru,” kata Adi Aprianto, Lurah Mundam.

Kini, alat pemecah ombak buatan tangan warga bersama Pertamina itu telah melindungi lebih dari 400 meter pesisir Mundam dari ancaman abrasi.

“Pembuatan tanggul dari ban bekas ini awalnya sebagai benteng untuk melindungi ribuan batang mangrove yang sudah ditanam. Alhamdulillah ternyata juga bermanfaat menahan abrasi,” tambah Sulaiman.

Jalan Muslim di Mundam yang menjadi penghubung antar kelurahan di Kecamatan terancam putus akibat abrasi.(f:kambali)

Dermaga Pelangi: Nafas Baru dari Laut

Tak berhenti di situ, tahun 2024 Pertamina kembali meluncurkan inisiatif lain—membangun dermaga nelayan sepanjang 200 meter menggunakan limbah kayu palet. Bagi nelayan, dermaga itu mengubah banyak hal. Mereka tak lagi harus menunggu pasang tinggi untuk melaut.

“Sekarang kami bisa berangkat kapan saja. Rata-rata sudah bisa 20 hari sebulan, tergantung cuaca,” tutur Sulaiman.

Lebih dari sekadar tempat tambat perahu, dermaga itu kini menjadi ikon baru Mundam. Cat warna-warni di sepanjang jembatan membuatnya dijuluki warga sebagai Dermaga Pelangi.

“Awalnya kami kaget, banyak orang datang hanya untuk foto-foto. Ada yang tanya, ‘di mana dermaga pelangi itu?’ Ternyata yang dimaksud ya dermaga buatan Pertamina ini,” cerita Akmal (51), penyuluh pertanian yang kerap bertugas di Mundam.

Kini di sepanjang pantai mulai muncul warung kopi dan pondok kecil. Warga yang dulu hidup dari laut kini juga bisa mendapat rezeki dari wisatawan yang datang.

Program Serumpun Paman Bahari

Semua upaya itu menjadi bagian dari program “Serumpun Paman Bahari” — singkatan dari Sinergi Ekologi untuk Masyarakat Pesisir Unggul, Pangan Mandiri, dan Bahari Lestari.

Program ini digagas oleh PT Pertamina (Persero) melalui PT Kilang Pertamina Internasional Refinery Unit II Dumai sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Menurut Agustiawan, Area Manager Communication, Relations & CSR RU II Dumai, fenomena abrasi di Mundam sudah pada tahap mengkhawatirkan.

“Pertamina melakukan intervensi dengan beberapa program. Salah satunya instalasi APO dari ban bekas. Kami juga melatih nelayan menjadi mekanik kapal, supaya mereka bisa memperbaiki kapal sendiri dan meningkatkan pendapatan,” ujarnya.

Ban bekas tersebut selain dari bus operasional Kilang Pertamina Dumai, juga bersumber dari kendaraan mitra. Pemanfaatan ban bekas mobil tangk ini juga sejalan dengan prinsip zero waste, di mana limbah operasional perusahaan dialihkan dari potensi pencemaran lingkungan menjadi solusi ekologis yang produktif.

Hasilnya terasa nyata. Dalam dua tahun berjalan, 451 meter persegi tanah berhasil diselamatkan dari abrasi, empat rumah dan empat UMKM terlindungi, serta sedimentasi pantai meningkat 20%.

Program ini juga berkontribusi terhadap pengurangan karbon: 62,4 CO₂eq dari mangrove, dan lebih dari 1.000 kg CO₂eq dari pemanfaatan limbah ban.

Ketika Laut Mulai Mengembalikan Tanah

Inovasi dan kolaborasi itu mendapat apresiasi luas. “Program ini betul-betul membantu. Tanah mulai tumbuh kembali,” kata Lurah Mundam, Adi Aprianto.

Bagi masyarakat, kehadiran Pertamina tak hanya memberi perlindungan fisik, tapi juga semangat baru. “Bantuan ini sangat berarti bagi kami,” ujar Akmaludin, anggota Kelompok Nelayan Mundam Jaya seraya berharap ke Pertamina terus mendampingi agar laut tetap menjadi sahabat, bukan ancaman.

Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero), Fadjar Djoko Santoso, menegaskan komitmen perusahaan. “Pertamina berupaya menjaga keberlanjutan ekosistem dan masyarakat di sekitar wilayah operasi. Melalui program TJSL, kami ingin memberi kontribusi yang nyata bagi kehidupan pesisir,” katanya.

Hingga 2025, Pertamina menargetkan tambahan 286 meter alat pemecah ombak di pesisir Mundam.  Sedikit demi sedikit, laut yang dulu mengancam kini justru membantu membentuk tanah baru — simbol perlawanan dan harapan dari tepi Selat Rupat.

Abrasi adalah salah satu dampak nyata perubahan iklim yang paling dirasakan di pesisir timur Sumatera. Termasuk di Mundam. Inovasi lokal seperti alat pemecah ombak dari ban bekas terbukti mampu menghambat laju abrasi sekaligus mengurangi limbah industri.

Mundam kini menjadi contoh kecil bahwa solusi besar bisa lahir dari hal sederhana — dan dari kerja sama antara masyarakat dan perusahaan yang peduli. (***)