JAKARTA (DUMAIPOSNEWS) – Desakan publik kepada pemerintah untuk menghentikan dan mengevaluasi makan bergizi gratis (MBG) makin menguat. Seruan itu muncul karena jumlah siswa yang keracunan seusai menyantap makanan MBG terus bertambah.
Salah satu pengusul adalah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Wakil Ketua KPAI Jasra Putra mengatakan, penghentian sementara diperlukan sampai instrumen panduan dan pengawasan benar-benar dilaksanakan dengan baik di lapangan.
Apalagi, kasus keracunan bukannya menurun, tapi justru meningkat. Di Riau juga sempat terjadi keracunan makanan MBG, tepatnya di Kabupaten Indragiri Hilir pada Agustus 2025 dan Kampar pada awal bulan ini.
”Keracunan makanan yang dialami anak dalam program MBG sudah tidak bisa ditolerir. Satu kasus anak yang mengalami keracunan bagi KPAI sudah cukup banyak,” ucapnya, Ahad (21/9).
Jasra memahami pemerintah memiliki target dalam penyaluran MBG. Namun, dia meminta, pemerintah tidak menutup mata serta peka atas kondisi yang terjadi di lapangan.
Program MBG juga tak boleh hanya berkutat pada peningkatan ekonomi namun cenderung mengabaikan unsur higienitas atau kebersihan, bahan-bahan dasar, proses memasak, hingga penyajiannya menu MBG. ”Perlu petugas khusus untuk penanganan kasus keracunan. Selain itu, dibutuhkan peralatan yang terstandarisasi baik,” jelasnya.
Peneliti dan Analis Kebijakan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Jimmy Daniel Berlianto juga mendorong pemerintah menghentikan dan mengevaluasi MBG. Itu diperlukan agar pemerintah fokus pada tata kelola desain program yang lebih jelas serta berbasis bukti.
”Ambisi untuk terus meningkatkan penerima sampai 82,9 juta orang berisiko memperparah kasus keracunan dan konsumsi pangan ultra olahan,” paparnya.
CIPS mengidentifikasi sejumlah permasalahan yang menghambat tercapainya efektivitas program itu. Di antaranya, belum adanya kerangka regulasi yang jelas sebagai payung hukum MBG. Kemudian, pemerintah belum memiliki perencanaan yang matang mengenai apa yang ingin dicapai lewat MBG serta berjalan tanpa evaluasi yang mendalam.
Dipicu Bakteri Patogen
Presiden Indonesia Toxinology Society Dr dr Trimaharani mengatakan, kasus keracunan massal program MBG di beberapa wilayah umumnya dipicu kontaminasi bakteri patogen dalam rantai produksi dan distribusi pangan. ”Rata-rata disebabkan oleh dua hal utama, yaitu intoksikasi dan infeksi oleh bakteri patogen,” ucapnya.
Dalam kasus intoksikasi, racun dihasilkan oleh bakteri seperti bacillus cereus, clostridium botulinum, dan staphylococcus aureus. Meski sudah mati, bakteri itu dapat memicu gejala keracunan. Sementara, dalam kasus infeksi, bakteri seperti salmonella, escherichia coli, dan clostridium perfringens masuk ke tubuh melalui makanan yang terkontaminasi dan berkembang biak di dalam saluran pencernaan.
Trimaharini menyoroti tiga faktor kunci yang kerap memicu Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan. Yaitu kontaminasi, pertumbuhan bakteri dalam makanan, dan daya hidup bakteri saat pengolahan serta penyimpanan. Menurut dia, pengawasan dalam program MBG lemah.
”Selama ini, fokus lebih ke realisasi anggaran dan pengadaan makanan lewat SPPG. Bukan pada pengawasan kualitas,” katanya. Padahal, rantai distribusi MBG sangat rawan kontaminasi, baik dari bahan pangan yang tidak layak, peralatan masak yang tidak higienis, maupun proses penyimpanan dan distribusi makanan.
Surat Jaga Kerahasiaan
Bupati Sleman Harda Kiswaya mengaku tidak mengetahui Surat Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Kepala Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Kalurahan Tirtomartani, Kalasan, dengan penerima manfaat yang tersebar.
Sebab, dalam dokumen itu terdapat poin bila permasalahan yang diduga berasal dari MBG, termasuk dugaan keracunan, maka penerima manfaat diminta menjaga kerahasiaan. ”Tidak tahu. Aku bunyinya juga tidak ngerti suratnya kayak apa,” tegas Harda pada Sabtu (20/9).
Surat tertanggal 10 September 2025 tersebut berisi tujuh poin. Pada poin ketujuh, penerima manfaat diminta menjaga kerahasiaan bila muncul permasalahan keracunan hingga pihak pertama menemukan solusi terbaik dalam menyelesaikan persoalan tersebut.
Harda meminta kepada seluruh pihak mengevaluasi pelaksanaan MBG. Pria 61 tahun itu juga mengusulkan, sebaiknya menu MBG dibuat oleh masyarakat supaya kesehatannya lebih terjamin. ”Kalau dari masyarakat itu jauh lebih baik. Ya, kami harus mengakui kalau ada kelemahan. Maka harus kami perbaiki, kalau saya lho,” jelasnya.(rio)