Green Coke adalah produk inovatif Pertamina yang menjadi energi alternatif pengganti batu bara, lebih ramah lingkungan dan efisien
BUMI Begitu besar manfaatnya bagi kehidupan manusia,namun harus bijak dalam penggunaannya. Seperti halnya minyak bumi dan manusia ibarat darah dan tubuh, dimana minyak bumi menjadi sumber energi vital menopang hampir seluruh aspek kehidupan modern manusia.
Laporan : MISWANTO, Dumai
Mulai transportasi, industri, hingga produk sehari-hari. Namun, karena minyak bumi adalah sumber daya alam tak terbarukan, Sehingga keduanya ibarat ketergantungan yang perlu dijaga keseimbangannya, karena cadangan minyak bumi yang terbatas dan dampaknya terhadap lingkungan memerlukan pengelolaan yang bijak dan bertanggungjawab.
Kilang Pertamina Internasional (KPI) RU II Dumai Jalan Putri Tujuh Kelurahan Tanjung Palas, Dumai Timur, Riau selain bertugas sebagai unit operasi yang menjalankan bisnis pengolahan minyak bumi dan petrokimia, dengan fokus pada pengolahan minyak mentah menjadi berbagai produk energi dan petrokimia bernilai tinggi. Memainkan peran strategis dalam menjaga ketahanan energi nasional dengan memenuhi pasokan energi, khususnya untuk wilayah Sumatera Bagian Utara.
Selain itu, PT KPI Dumai juga memproduksi green coke salah satu bentuk transisi energi dan inovasi kilang karena ini merupakan cara memanfaatkan residu yang sebelumnya dianggap limbah dan kurang bernilai ekonomis untuk menghasilkan produk bernilai.
Area Manager Communication & Relations & CSR PT KPI Kilang Dumai Agustiawan Ketika ditemui secara rinci menjelaskan green coke mengandung emisi relatif lebih rendah daripada beberapa alternatif bahan bakar berat. Hal ini sejalan dengan upaya untuk mengurangi dampak lingkungan dari limbah kilang.
Menurutnya green coke yang dihasilkan dari kilang Pertamina Dumai termasuk kategori low-sulfur green coke sehingga lebih ramah lingkungan dibanding petcoke residu sulfur tinggi dari crude jenis berat. Bahasa lain green coke sama dengan kokas minyak bumi hijau atau green petroleum coke merupakan produk sampingan padat dari penyulingan minyak bumi kaya karbon di produksi pertama kali oleh kilang Pertamina Dumai yang didirikan pada tahun 1969 dan diresmikan 1971.
Diproduksi menggunakan Delayed Coking Unit (DCU) yang mengubah residu minyak bumi menjadi green coke untuk memenuhi pasar nasional. Tingginya permintaan mendorong kilang Dumai meningkatkan produksi. Pada tahun 2024 mencatat sekitar 244,4 ribu ton green coke. Sementara hingga triwulan pertama tahun 2025, jumlah produksi green coke mencapai sekitar 49,6 ribu ton.
Lebih lanjut kata pria kelahiran Dumai 1981 ini menuturkan Pertamina memproduksi kokas hijau untuk mendukung hilirisasi nasional yang dapat menjadi bahan baku penting bagi berbagai industri di Indonesia.
Timbal balik dari kesemuanya ini, kata Agus diharapkan tidak hanya untuk memperkuat ketahanan energi nasional, tetapi juga menjadi faktor penggerak dalam membangun ekosistem industri berbasis bahan baku dalam negeri.
Sebab dalam era industri modern, akan sumber energi efisien dan ramah lingkungan semakin mendesak dan alternatif. Sementara itu green coke produk potensial untuk mengurangi ketergantungan penggunaan bahan baku batu bara dalam menghasilkan listrik menggerakan industri baja, industri semen sebagai bahan pemanas.
Sejatinya si kembar hitam sebutan untuk green coke dan batu bara memiliki kemiripan sama yang membedakannya hanya proses pembentukan serta kandungan dan sifatnya.
Untuk green coke, kata Agus menjelaskan memiliki banyak kelebihan dibandingkan batu bara merupakan produk sampingan penyulingan minyak bumi prosesnya diolah dan memiliki emisi sulfur rendah, memiliki kalor tinggi, ramah lingkungan serta menjadi bahan bakar alternatif.
Sementara itu batu bara bahan bakar fosil alami terbentuk secara geologis selama jutaan tahun, dengan kandungan sulfur dan abu lebih tinggi. Keduanya sama-sama dimanfaatkan untuk mendukung industri, dan paling utama penggunaan green coke sebagai bahan bakar sangat membantu mengurangi polusi dan menjadi solusi energi lebih ramah lingkungan, hal itu tentunya sejalan dengan semangat pepatah yang mengajak kita untuk selalu menjaga bumi.
Lalu green coke itu apa? Pria berkaca mata menambahkan produk padat berbasis karbon yang dihasilkan dari proses thermal cracking residu minyak berat/short residue dan merupakan bottom product. Disebut green bukan karena warnanya hijau, tetapi karena belum melalui proses pemurnian atau calcination.
Jadi, istilah green di sini artinya mentah atau belum diproses lebih lanjut. Terkait bentuk fisik green coke tampak seperti batu bara keras dengan permukaan kasar dan mengilap atau seperti arang industri besar yang padat, berat dan berwarna hitam dengan permukaan kasar berpori.
Pada operasionalnya coke yang keluar dari chamber dalam bentuk tumpukan besar, lalu dihancurkan menjadi ukuran lebih kecil ketika dilakukan transfer menggunakan gantry crane. Kawan-kawan (sebutan wartawan) bisa lihat dalam kilang, green coke diproduksi dari operasional 4 unit Chamber atau Vessel yang beroperasi secara continyu.
Dengan siklus bergantian di setiap 2 unit chambernya atau biasa disebut 2 train yaitu train AB dan train CD. Selanjutnya akan ditempatkan sementara pada area coke pit dan ditransfer menggunakan gantry crane dan belt conveyor menuju storage field. Untuk produksi harian berkisar antara 500-1.000 ton/day tergantung operasional unit 140-DCU, dan untuk produksi perbulan berkisar di 20.000-30.000 ton/month.
Ungkap pria kelahiran Dumai 1981 ini melanjutkan awalnya green coke diproduksi sebagai bentuk optimalisasi pemanfaatan bottom product dari minyak bumi yang sudah tidak dapat diolah lebih lanjut pada proses kilang minyak tahap primer maupun sekunder.
“Melalui pengolahan di DCU, residu tersebut dikonversi menjadi produk bernilai tambah berupa green coke yang memiliki potensi sebagai bahan bakar padat maupun bahan baku industri hilir lainnya,”kata Agus sambil tangannya menunjuk kearah kilang Pertamina Dumai.
Saat ini, produk green coke yang dihasilkan belum dimanfaatkan secara langsung untuk kebutuhan di wilayah Kota Dumai, melainkan dijual untuk kebutuhan domestik serta di eksport ke luar negeri sebagai komoditas bernilai ekonomi.
Untuk produksi saat ini, green coke dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam industri baterai pada sejumlah perusahaan dalam negeri, khususnya yang berlokasi di wilayah Surabaya. Selain itu, sebagian produk green coke juga diekspor ke luar negeri, antara lain ke Cina dan Korea, sebagai komoditas bernilai tambah yang mendukung pengembangan industri energi dan metalurgi.
Sampai kapan green coke di produksi KPI Dumai? Kata Agus lagi, green coke diupayakan agar dapat berlangsung secara berkelanjutan (sustain), dengan tetap memperhatikan ketersediaan umpan (feed) atau short residue.
Terkait apakah green coke ini masuk kategori limbah B3, Agus melanjutkan berdasarkan sifat dan penggunaannya, green coke tergolong produk samping bernilai ekonomi dan bukan limbah B3. Namun , debu hasil penanganan dari residu yang tidak dimanfaatkan dapat termasuk limbah B3 jika mengalami terkontaminasi minyak berat, mengandung logam berat, atau dibuang ke lingkungan tanpa pemanfaatan.
Apakah selama produksi telah mencemari lingkungan masyarakat sekitar? Pada saat ini, debu green coke tidak mencapai area pemukiman warga karena jarak radius yang cukup jauh serta penerapan sistem handling operasional green coke yang telah dilakukan secara optimal. Dengan demikian, potensi kontaminasi yang disebabkan oleh debu green coke dapat diminimalkan secara efektif. Untuk berapa kali green coke di ekspor sebagai kebutuhan industri, jumlah serta interval pengapalan green coke sepenuhnya bergantung pada ketersediaan stok dan kapasitas kapal loading. Oleh karena itu, volume pengapalan setiap bulan akan disesuaikan dengan parameter-parameter tersebut.
Kesempatan Daerah Mengelola Green Coke
Ketua Komite Reformasi Masyarakat Dumai Ahmad Martulius mengungkapkan green coke merupakan produk potensial untuk bisa digarap dikelola Pemerintah Daerah Dumai melalui perusahaan daerah.
Sebagai bahan bakar ramah lingkungan, green coke sudah lama menjadi incaran pemerintah untuk dikelola sehingga memperoleh pendapatan untuk daerah. Sekitar tahun 2000 PemkoDumai dan masyarakat pernah mengusulkan ke Kementrian EnergiSumber Daya Mineral (ESDM) untuk bisa mendapatkan bagian untuk mengelola green coke.
Gayung bersambut, pemerintah pusat melalui Menteri ESDM mengeluarkan keputusan tentang pengelolaan green coke. Hanya saja, Pemerintah Daerah atau perusahaan derah baru bisa mendapatkan bagian setelah adanya pabrik pengolahan green coke.
Merupakan pilihan yang berat, bagi Dumai selaku kota pemekaran yang baru lepas dari kabupaten induk Bengkalis. ‘Ia menyarankan agar Pemerintah Daerah saat ini melalui BUMD bisa kembali meloby pemerintah pusat agar daerah kembali bisa mendapatkan green coke yang berasal dari Kilang Pertamina Internasional RU II Dumai. Karena potensinya kedepan sangat baik dalam mendongkrak pundi pundi pendapatan untuk daerah,”kata pria yang ikut berjuang dalam perubahaan status Dumai dari kota adiministrif menjadi kota Dumai.
Kedepan green coke menjadi sumber energi yang efisien dan ramah lingkungan sebagai solusi potensial untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara. Dengan semakin ketatnya regulasi lingkungan dan meningkatnya kesadaran akan pentingnya keberlanjutan, green coke memiliki potensi menjadi bahan bakar alternatif utama di berbagai sektor industri.
Meskipun masih banyak tantangan yang perlu diatasi, manfaat jangka panjang dari penggunaan kokas hijau dalam hal pengurangan emisi, efisiensi energi, dan keberlanjutan menjadikannya pilihan yang layak untuk masa depan energi dunia.
Apabila Dumai mendapatkan kuota pengelolaan green coke,oleh Pertamina maka secara tak langsung bakal membuka lapangan kerja baru untuk masyarakat tempatan. Ketua RT 05 Kelurahan Tanjung Palas, Basri mengungkapkan keberadaan Kilang Pertamina Dumai telah memberikan kontribusi pada masyarakat ring I dalam bentuk pekerjaan.”Alhamdulillah, banyak warga Tanjung Palas yang bekerja di kilang pengolahan minyak itu walaupun dalam status kontrak maupun harian,”tuturnya.
Kendati demikian, ia juga menyarankan pada PT KPI Dumai untuk memperhatikan lingkungan masyarakat sekitar yang selalu mendapat kiriman debu green coke ketika angin laut berhembut kearah selatan dan timur.
Atap rumah warga kerap disinggahi debu green coke sehingga atap menjadi kotor dan air tadah hujan tidak bisa dimanfaatkan karena berwarna hitam. Pertamina dalam kepeduliannya menyalurkan air bersih untuk warga melalui tembok kilang.
Minim Hasilkan Gas Rumah Kaca
Agus merupakan mantan gubernur mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Riau ini menambahkan, paling utama dalam dunia industri pada pembakaran green coke menghasilkan emisi gas rumah kaca lebih minim.
Secara tak langsung mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan sekitar. Tak hanya itu, kata Agus penggunaan green coke dapat mengurangi biaya 00operasional karena harganya lebih kompetitif dibandingkan dengan batu bara, terutama jika dipertimbangkan dalam jangka panjang dengan penurunan emisi dihasilkan.
Meskipun memiliki banyak manfaat dan keuntungan dari penggunaan green coke, ada beberapa tantangan yang perlu dihadapi dalam penggunaan si hitam ini secara luas. Artinya konversi dari batu bara ke green coke memerlukan modifikasi pada peralatan dan infrastruktur yang sudah ada. Artinya butuh investasi awal yang signifikan bagi perusahaan.
Setiap negara memiliki regulasi dan standar berbeda terkait dengan penggunaan bahan bakar alternative ini. Paling penting yang harus dipahami perusahaan perlu memastikan bahwa penggunaan green coke sesuai dengan regulasi lokal dan internasional.
Untuk Indonesia perusahaan yang menggunakan green coke PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum mereka menggunakan sebagai bahan baku proses peleburan aluminium, serta industri logam dan pembangkit listrik.
Selain memproduksi green cokem PT KPI Dumai, juga memasarkannya produk itu untuk industri lainnya, PT Indonesia BTR New Energy Material sebagai bahan baku anoda baterai, serta industri logam dan semen. Mengapa mereka memanfaatkan green coke di industri aluminium? karena membutuhkan bahan bakar dengan kandungan energi tinggi dan rendah emisi karbon dan menjadikan industri ini lebih ramah lingkungan.
Spesifikasi tipikal green coke memiliki nilai kalor lebih tinggi dan emisi sulfur lebih rendah dibandingkan batu bara, seperti nilai kalori 7.500-8.500 cal/kg dan sulfur 0,5%. Sebaliknya, batu bara memiliki nilai kalori lebih rendah sekitar 5.000-6.000 cal/kg dan kandungan sulfur bervariasi.
Tidak Berdampak Lingkungan
Lain itu, ahli Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Dr Ir Dwina Roosmini menyatakan green coke bukanlah limbah bahan beracun dan tidak berdampak buruk bagi lingkungan.
Karakteristik produk Green Coke berdasarkan PP 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3 tidak termasuk ke dalam kategori B3 karena green coke merupakan salah satu produk dari minyak bumi digunakan untuk keperluan bahan bakar namun tidak reaktif sama halnya seperti arang.
Menurun penelitian green Coke merupakan produk hasil kilang yang dipasarkan sama seperti bahan bakar seperti avtur, dan solar. Green coke merupakan produk akhir dari seluruh proses pengolahan di kilang refinery dihasilkan diolah menggunakan prinsip Thermal Cracking.
“Perbandingan green coke ini seperti aspal jalan yang merupakan hasil pengolahan minyak bumi. Jika aspal tidak mengganggu aktivitas lingkungan, maka begitu juga green coke,”sebutnya.
Ia menuturkan green coke sesuai sifatnya tidak mudah menyatu dalam air hanya saja bisa mengganggu fisik manusia apabila terhirup berlebihan ibaratnya debu.
Namun demikian katanya, hasil uji laboratorium Komite Akreditasi Nasional (KAN) dampak green coke menyatakan secara umum merupakan
produk turunan pengolahan minyak bumi dengan karakteristik dan kandungan tidak beracun dan non hazardous material tercipta dari proses karbonisasi dengan proses pemanasan residu minyak bumi pada suhu tinggi sekitar 480-520°C atau mencapai 900 Kelvin.
Batu Bara Merusak Lingkungan
Dhini Amalia dari Yayasan Indonesia Cerah penggunaan batu bara secara berkelanjutan sangat berdampak pada kesehatan manusia dan lingkungan. Pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi telah menjadi sejarah panjang dalam industri modern.
Namun, seperti halnya dengan banyak sumber energi tak terbarukan lainnya, penggunaan batu bara memiliki dampak negatif signifikan, terutama terkait dengan lingkungan dan kesehatan manusia.
Menurut mereka salah satu dampak mencolok dari penggunaan batu bara pencemaran udara. Karena proses pembakaran batu bara untuk bisa menghasilkan energi menimbulkan emisi berbagai zat berbahaya, termasuk sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), partikulat, dan gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2).
Tidak hanya itu, penggunaan batu bara juga berkontribusi pada pemanasan global dan perubahan iklim. Gas rumah kaca yang dihasilkan selama pembakaran batu bara, terutama CO2, meningkatkan efek rumah kaca, menyebabkan peningkatan suhu global, yang menjadi ancaman serius terhadap ekosistem bumi.
Lain itu, industri batu bara bisa mencemari sumber air karena memiliki kandungan logam berat dan bahan kimia berbahaya yang dapat mencemari sungai, danau, dan sumber air tanah yang tidak hanya mengancam kehidupan akuatik, tetapi juga berdampak buruk pada kesehatan manusia.***
(sumber: wawancara langsung dan berbagai sumber)






